English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese

Contek Massal dan Pendidikan Karakter

Dua tahun belakangan ini pemerintah, dalam hal ini Mendiknas, gencar ‘mengkampanyekan’ pendidikan karakter di dunia pendidikan kita. Meski konsepnya belum jelas benar, namun masyarakat menyambutnya dengan antusias. Ini dibuktikan dengan tingginya semangat para pendidik mengikuti seminar-seminar bertema pendidikan karakter. Sekolah-sekolah juga memanfaafkan isu pendidikan berkarakter sebagai sarana promosi untuk menjaring calon peserta didik. Kelihatannya sekolah-sekolah itu sangat memahami bahwa masyarakat menginginkan sekolah mampu membentuk karakter yang baik bagi anak-anak mereka.
Bagi masyarakat, pendidikan karakter merupakan sesuatu yang telah hilang dari dunia pendidikan kita. Karena itu, sangat wajar jika gagasan pendidikan karakter di sekolah mendapat apresiasi yang dahsyat dari masyarakat. Gagasan pendidikan karakter menjadi semacam obat rindu bagi sesuatu yang nyaris hilang dalam kesadaran masyarakat kita. Dan kita pasti paham bahwa kerusakan bangsa ini sebagian besar disebabkan oleh ketiadaan karakter yang jelas dan positif.
Namun belum ‘mingkem’ koar-koar Mendiknas tentang pendidikan karakter, dunia pendidikan kita dibuat ‘ternoda’, yang justru dipicu oleh kebijakan Mendiknas sendiri yang kurang tepat. Beberapa waktu lalu dunia pendidikan kita dibikin heboh oleh berita perihal contek massal yang dilakukan oleh salah satu sekolah ketika pelaksanaan unas. Adalah Siami, orang tua Al, murid yang disuruh memberi contekan kepada teman-temannya, yang melaporkan kepada kantor disdik setempat.
Alasan Bu Siami melaporkan contek massal tersebut adalah  tidak terima anaknya diajari tidak jujur. Siapa pun yang waras pasti membenarkan tindakan yang dulakukan Bu Siami. Betapa tidak ? Bertahun-tahun dengan susah payah menanamkan nilai kejujuran kepada putranya tersebut, dengan begitu saja dihancurkan oleh pihak sekolah, sebuah lembaga formal yang diharapkan dapat mempertinggi akal dan budi putranya itu, dengan mendoktrin nilai yang justru berlawanan dengan kejujuran.
Tapi, apa yang didapatkan ibu yang berani tersebut dan putranya?
Sungguh di luar dugaan. Putranya diolok-olok oleh teman-nya di sekolah. Dan di kampungnya lebih tragis lagi. Keluarga Bu Siami dikucilkan, bahkan sampai di usir dari kampung halamannya. Akibatnya,mereka harus mengungsi di tempat saudaranya. Dunia pendidikan kita telah menebarkan virus ketidak-jujuran di tengah masyarakat yang memang sudah tidak mempedulikan nilai baik dan buruk ini.
Barangkali karena sudah menjadi berita ‘panas’ di media massa, maka mendiknas M.Nuh sampai turun tangan ke SDN Gadel 2 Surabaya. Setelah inspeksi sana, inspeksi sini, mendiknas mengeluarkan pers rilis. Bunyinya : “Mana buktinya (terjadi contek massal)? Kalau kami punya bukti, yaitu output lembar jawaban siswa.” (http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/06/22/ln6msw-mendiknas-bersikukuh-tak-terjadi-contek-massal ) Menurut beliau, tidak ada satu pun jawaban yang seragam.
Meski pihak sekolah telah mengakui member instruksi kepad Al supaya member contekan kepada teman-temannya, bahkan kepala sekolah dan guru kelas enam di SD Gdel 2 itu telah mendapatkan sangsi, mendiknas tetap ngoto dengan kesimpulan di atas.
Tulisan ini tidak berpretensi untuk menilai benar-tidaknya pers rilis-nya mendiknas tersebut. Sebagai masyarakat awam, penulis sangat menyadari apa yang diungkapkan mendiknas itu. Bisa dibayangkan, jika M.Nuh mengakui bahwa telah terjadi contekan massal di SDN Gadel2, tentu risiko yang ditimbulkan bias besyar dan unpredictable. Pertama, pasti harus mengadakan unas ulang untuk SD itu. Kedua, beberapa pihak wali murid akan protes karena terjadinya contek massal bukan atas inisiatif para siswa, tapi merupakan “ijtihad’ para pengelola sekolah SDN Gadel 2 Surabaya. Dengan begitu, kesalahan justru terletak pada pihak sekolah. Kalau sekolah yang bersalah, mengapa harus siswa yang memikul risikonya dengan melakukan unas ulang ? Ketiga, dengan adanya kebobolan contek massal, maka masyarakat bias menilai bahwa system pengawasan unas sangat memprihatinkan. Padahal selalu ada kepolisian yang menjaga unas itu.
Dengan pertimbangan di atas sangat masuk akal jikalu mendiknas ngotot ngomong tidak terjadi contek massal di sekolahan tersebut.
Penulis sangat yakin, modus contek massal semacam itu pasti tidak hanya dilakukan oleh SDN Gadel 2 saja, sekolah-sekolah lain juga melakukannya sejak lama. Mengapa baru terungkap sekarang ? Ya karena baru ada orang yang berani mengungkapkan kecurangan di dunia pendidikan kita. Sebenarnya, sebelum dan sesudah skandal ini terungkap, sudah ada beberapa pihak, baik guru mau pun wali murid yang mengungkapkan kecurangan tersebut. Namun, sayang belum mendapat respon yang memadai dari masyarakat sebagaimana saat ini. Artinya, contekan massal di kala unas merupakan ‘budaya lama’ yang selalu hadir di dalam pelaksanaan unas. Kalau  sinyalemen ini benar, berarti unas yang menghabiskan dana pemerintah ( artinya belum dana masyarakat ) lebih-kurang Rp.580 miliar, hanyalah ujian bohong-bohongan.
Apakah munculnya budaya contek massal ini merupakan kesalahan guru atau pihak sekolah semata ? Secara pribadi, penulis berpendapat tidaklah arif jika kesalahan sepenuhnya kita semprotkan ke muka guru-guru kita. Bagi guru, masa unas bak masa persidangan di pengadilan. Putusan sang hakim adalah saat pengumuman kelulusan. Jika murid-muridnya lulus 100%, maka bebaslah sang guru dari hukuman. Sebaliknya, bila banyak yang tidak lulus, maka hukuman harus mereka pikul. Mulai dari sumpah serapah masyarakat wali murid, pihak sekolah, pihak disdik hingga kepala daerah. Dalam kondisi seperti itu, rasanya hasil kerja selama tiga tahun tidak ada artinya.
Dengan gambaran semacam itu, rasanya manusiawi jika para guru tak mau ambil risiko. Maka, tindakan yang paling masuk akal adalah menskenario contek massal. Atau setidaknya, melakukan pembiaran tatkala mendapati murid-murid ‘bercontek-ria’ saat mengerjakan unas. Bagi mereka, yang penting murid mereka lulus 100%. Karena, mampu meluluskan muridnya 100% dianggap sebagai puncak prestasi sekolah dan guru. Dan, penulis yakin, sebagian besar dari kita, mulai pejabat pemerintah, pihak disdik, masyarakat ( terutama yang anaknya duduk di kelas akhir ) pasti tahu soal ini. Hal ini sudah menjadi rahasia umum, karena sebagian besar sekolah melakukannya. Kendati selalu ada polisi dan pihak independen sebagai pemantau pelaksanaan unas. Tapi, lucunya, kita semua pura-pura tidak tahu fenomena ini.
Boleh saja kita berpura-pura tidak tahu ada kecurangan massal dalam pelaksanaan unas tersebut. Tapi, bagaimana dengan anak-anak kita yang merupakan bagian dari pelaku ketidak-jujuran itu ? Bisakah mereka berpura-pura lupa bahwa mereka pernah melakukan ketidak-jujuran massal ? Selanjutnya, murid-murid kita ini pasti akan memandang bahwa ketidak-jujuran merupakan hal lumrah pada bangsa ini. Siapa saja boleh melakukan ketidak-jujuran. Apakah dengan ini kita memang sengaja mau melanggengkan budaya korupsi di negeri ini ?
Dari sini Nampak jelas bahwa ada kebijakan yang paradoksal tengah dilakukan oleh kementrian pendidikan. Di satu sisi ingin mengembangkan pendidikan karakter, namun di sisi yang lain justru mengambil kebijakan yang malah mendorong munculnya perilaku tidak jujur.  Penulis percaya, pasti bukan karakter maling yang akan dikembangkan dalam pendidikan karakter yang digembar-gemborkan selama ini.