Ilustrasi |
Kira-kira sejak dua tahun lalu, tiba-tiba istilah pendidikan karakter menjadi populer. Hampir setiap orang yang berbicara tentang pendidikan, selalu mengucapkan istilah tersebut. Bahkan, beberapa sekolah dengan berani memproklamirkan diri sebagai sekolah berbasis pendidikan karakter.
Secara iseng penulis bertanya ke beberapa teman mengenai pengertian dan implementasi pendidikan berkarakter ini. Mereka ada yang guru, kepala sekolah, mahasiswa, wali murid atau masyarakat yang punya minat terhadap bidang pendidikan. Dari mereka, penulis memperoleh pendapat yang beraneka ragam.
Pendapat yang terbanyak mengatakan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang menyeimbangkan antara ilmu pengetahuan dan ilmu agama. Slogan mereka ialah pendidikan iptek dan imtak. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang berpendapat bahwa pendidikan kita saat ini terlalu menekankan sisi keduniawian. Sehingga banyak menghasilkan manusia-manusia yang egois, tidak memegang nilai-nilai agama, tidak menghargai perbedaan, bermental korup dan lain sebagainya. Karena itu, pendidikan agama harus diperbanyak di dalam pendidikan kita.
Kelompok lain berpendapat bahwa saat ini pendidikan kita terlalu menekankan sisi kemampuan otak kiri. Akibatnya, banyak manusia-manusia berprestasi secara akademik, namun kerapkali berbuat a moral dan a sosial, tidak menghargai humanistik, tidak kreatif dan lain sebagainya. Karena itu, pendidikan seharusnya juga memperhatikan pengembangan otak kanan. Implementasinya dalam pendidikan adalah sekolah tidak boleh terlalu menjejali peserta didiknya dengan materi-materi pelajaran saja. Sekolah juga harus memberi pendidikan untuk membangkitkan potensi peserta didik untuk mampu melakukan kerjasama yang baik, memiliki potensi kepemimpinan, kreatif, berani melakukan inovasi dan lain sebagainya yang berhubungan dengan potensi otak kanan.
Kelompok ketiga berpendapat bahwa pendidikan saat ini telah menghasilkan anak-anak muda yang tidak memiliki rasa nasionalisme, tidak mengenal budaya sendiri, silau pada hasil-hasil budaya asing ( global ), dan ‘tercerabut dari buminya berpijak’. Oleh karena itu, sekolah seharusnya mampu menanamkan ideologi bangsa, belajar mencintai budaya sendiri, memiliki filter untuk menyaring budaya asing, dan melatih kebanggaan terhadap bangsanya.
Kelompok terakhir adalah yang berpendapat bahwa pendidikan nasional kita harus mampu menghasilkan manusia-manusia yang berkualifikasi internasional. Hal ini bertujuan agar bangsa kita mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di era global ini. Wujudnya berupa didirikannya RSBI, Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Terus terang saja, penulis kurang paham apa hakikat dari RSBI tersebut. Dan penulis yakin, banyak juga masyarakat kita yang belum memahami benar apa maksud dan manfaat RSBI. Tapi, secara kasat mata, murid dari RSBI kalau sekolah membawa laptop, kelasnya ber AC, sekolahnya sampai sore, dan yang pasti bayarnya jauh lebih mahal.
Dari pendapat-pendapat di atas, jelas bahwa terdapat pendapat yang berbeda-beda mengenai tafsir dari pendidikan berkarakter ini. Celakanya, tulisan ini akan menambah lagi perbedaan-perbedaan tersebut. Semoga saja tidak menambah kebingungan kita.
Banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pendidikan karakter mencerminkan belum jelasnya dasar dari dimunculkan pentingnya pendidikan karakter. Untuk apa bangsa ini memerlukan pendidikan karakter bagi dunia pendidikannya ? Atau, ada masalah apa dengan bangsa ini kok tiba-tiba banyak pihak berteriak-teriak mengenai pendidikan karakter ?
Di masa orde lama, Bung Karno pernah mencuatkan isue tentang National Character Building. Terus terang penulis kurang mengetahui apa yang mendasari pemikiran Bung Karno tentang perlunya National Character Building tersebut. Tetapi, di saat itu Sang Proklamator ini meresahkan tentang ‘kedudukan’ dan mental bangsa Indonesia di tengah bangsa-bangsa lain.
“……dan sejarah akan menulis di sana, di antara benua Asia dan benua Australia, antara lautan Teduh dan lautan Indonesia, adalah hidup suatu bangsa yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai bangsa. Akhirnya kembali menjadi satu kuli di antara bangsa bangsa – kembali menjadi een natie van koelies, en een kolie onder de naties. “
( Soekarno – Tahun Vivere Pericoloso – 1964 ).
( Soekarno – Tahun Vivere Pericoloso – 1964 ).
Ramalan BK tersebut kini menjadi kenyataan. Simak saja fenomena-fenomena berikut. Konon, saat ini Indonesia merupakan produsen terbesar pengekspor pembantu rumah tangga ke negeri lain. Mengapa bisa begitu ? Pertama, kita belum mampu mencetak tenaga-tenaga ahli ( semisal ahli IT, kedokteran, ahli kimia dan lain-lain ) yang kompetitif di pasaran tenaga kerja internasional. Kedua, kita juga tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi bangsa kita sendiri. Maka, apakah patut kita menyalahkan jika banyak penduduk kita mencari penghidupan di negeri lain, meski pun sekadar menjadi jongos ?
Fenomena lain yang juga memiriskan adalah dijualnya aset-aset bangsa kepada pihak asing. Semula yang dijual adalah kekayaan alam berupa tambang-tambang. Saat ini, mungkin karena tidak ada lagi sumber daya alam yang bisa dijual, maka pemerintah menjual BUMN-BUMN.
Alasan penjualan aset negeri adalah karena kita tidak memiliki dana investasi yang memadai dan tiadanya expert dari dalam negeri untuk mengelolanya. Akibatnya, selain yang menikmati hasilnya adalah pihak asing, juga pekerjaan yang bersifat white coral kebanyakan ‘dipegang’ para ekspatriat. Akibat lanjutannya adalah tenaga kerja kita hanyalah menjadi tenaga kasar dan setengah kasar alias menjadi jongos di negeri sendiri. Persis sama dengan jaman penjajahan dahulu.
Fenomena yang lebih memilukan adalah yang bermental seperti itu ternyata bukan hanya mereka yang di tingkat grassroot saja. Para pejabatnya pun juga serupa. Tentu bukan berita baru bahwa banyak dari kebijakan pemerintah hanyalah hasil meniru dan mengikut suara kepentingan asing. Contoh yang paling gress adalah perihal rencana dihapuskannya premium dari bumi Indonesia, seperti disampaikan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Dan jika kita ikuti berita-berita seputar rencana penghapusan premium, ternyata pendapat serupa juga disampaikan oleh salah satu petinggi IMF.
Dari uraian di atas, saat ini bangsa Indonesia masih berkubang dalam karakter bermental budak. Artinya, jika dunia pendidikan punya misi membentuk karakter bangsa, maka tugas sesungguhnya adalah membebaskan penduduk bangsa ini dari mental buruk tersebut. Karakter yang wajib dibangkitkan antara lain sikap mental mandiri, inovatif, berani mengambil keputusan, profesional, dan berjiwa pembelajar seumur hidup. Pertanyaannya, mampukah dunia pendidikan kita saat ini melakukannya ?
sumber . . .