
Konsumsi makan bergizi (Foto: Google)
Gizi buruk sangat berkaitan dengan tingkat inteligensia atau biasa disebut intelligence quotient (IQ). Menurut periset dari Pusat Penelitian Pengembangan Gizi yang juga anggota Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Dr Sandjaya, kurangnya gizi pasti memengaruhi tingkat kecerdasan anak. Anak penderita gizi buruk biasanya akan mengalami penurunan IQ sebesar 11–13 poin.
Parahnya, kondisi tersebut tak bisa diperbaiki sampai kapan pun karena perkembangan otak yang paling pesat hanya berlangsung hingga anak berusia dua tahun.
Sandjaya menyebutkan, dari 230 juta penduduk di Indonesia, sekitar 10 persen atau 23 juta jiwa masuk kategori balita. Dari sekitar 23 juta balita, 2–3 persen di antaranya terdiagnosa menderita gizi buruk. Sementara menurut data Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) 2010, sebanyak 17,9 persen balita di Tanah Air masih mengalami gizi kurang atau gizi buruk.
“Kalikan saja, berapa poin IQ yang hilang berdasarkan jumlah tersebut. Kalau dalam satu generasi masalah ini terus terjadi, bukan tidak mungkin kita akan mengalami lost generation,” kata Sandjaya.
Gizi buruk jelas bisa menghambat pertumbuhan fisik dan otak secara optimal. Saat anak mulai memasuki usia sekolah, biasanya dia akan terlihat lesu, rewel, malas sekolah, sulit menangkap dan mengingat pelajaran, serta sering tidak masuk sekolah karena sakit. Selain itu, anak yang buruk gizi akan tertinggal perkembangan dan kecerdasannya dibandingkan anak lain. Si anak juga berpotensi menjadi kurus dan sangat pendek. Kalau sudah begini dan tak ada langkah untuk memperbaikinya, bakal tercipta generasi berkualitas rendah yang tidak produktif dan tak mampu bersaing di masa depan. Bahkan generasi ini, tandas Sandjaya, bisa saja menjadi beban sosial dan ekonomi bagi keluarga atau masyarakat.
Gizi buruk bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, kurangnya asupan makanan yang bernilai gizi tinggi. Kedua, terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi hingga menyebabkan kerusakan pada beberapa fungsi organ tubuh. Kerusakan ini mengakibatkan organ tak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Hanya, untuk kasus di Indonesia, umumnya gizi buruk disebabkan oleh faktor kurangnya asupan makanan bernutrisi. Penyebabnya bisa karena faktor kemiskinan dan kurangnya pengetahuan orangtua tentang gizi.
Untuk mengetahui status gizi anak Indonesia, Rikesdas dibuat per tiga tahun sekali. Hanya, kata Sandjaya, survei Rikesdas masih memiliki “celah” karena yang diteliti umumnya hanya mencakup data antropometri dan terbatas pada kategori usia 0–5 tahun.
Berangkat dari inisiatif untuk memahami lebih mendalam mengenai status gizi dan pola makan anak-anak di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dibuatlah program South East Asia Nutrition Survey(Seanuts) oleh Frisian Flag Indonesia, bekerja sama dengan PERSAGI. Kegiatan ini berlangsung sejak akhir 2009 dan saat ini proses survei sudah mencapai 90 persen.
Menurut Corporate Communication Manager Frisian Flag Indonesia Anton Susanto, Seanuts merupakan studi nutrisi terbesar dan paling komprehensif yang pernah dilakukan di kawasan Asia Tenggara beberapa tahun terakhir.
Studi ini berlangsung antara lain di Indonesia bersama PERSAGI (7.200 anak), Malaysia bersama Universiti Kebangsaan Malaysia (3.300 anak), Thailand bersama Mahidol University (3.100 anak), dan Vietnam bersama National Institute of Nutrition (2.880 anak).
Untuk Indonesia sendiri, pengambilan sampel telah dilaksanakan terhadap 6.300 responden di 42 kabupaten/- kota di 25 provinsi. Responden atau sampel yang berjumlah 7.200 anak terbagi atas tiga kategori, yakni usia 6–23 bulan, 2–5 tahun, dan 6–12 tahun.
Aspek yang ditentukan dan dinilai dalam Seanuts meliputi status gizi serta pertumbuhan melalui teknik komposisi antropometri dan tubuh, asupan makanan dan pola makan menggunakan aktivitas fisik, konsentrasi serum lipid dan serum mikronutrien termasuk zat besi, vitamin B12, A & D, kepadatan tulang menggunakan teknik ultrasoundkualitatif dan untuk membandingkan dengan DEXA dalam sebuah subsampel, serta fungsi pengembangan dan kognitif.