Pemerintah meningkatkan pelatihan penggunaan  obat tradisional oleh dokter. Ini dilakukan agar para dokter di  Indonesia siap menghadapi agenda kawasan ASEAN yang akan  mengintegrasikan obat tradisional dalam dunia medis modern tahun 2015  mendatang.
Konferensi tanaman obat se-ASEAN kini sedang berlangsung di tanah  air. Pertemuan yang digelar untuk ketiga kalinya ini bertujuan untuk  memantapkan rencana masyarakat ASEAN mengintegrasikan pengobatan  tradisional ke dalam sistem pengobatan modern. Berdasarkan target, ini  akan mulai berlaku pada tahun 2015 mendatang.
Para dokter di Indonesia saat ini sudah mendapat lampu hijau dari  Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk meresepkan obat tradisional kepada  pasien, di samping obat-obatan modern.  Namun untuk itu, para dokter  wajib memiliki sertifikasi resmi dari IDI.
| Mantey | 
Bahan-bahan obat tradisional ini dapat mengobati penyakit tifus dan malaria (foto: dok).
Menurut Ketua IDI, Dr. Prijo Sidipratomo,  untuk memperoleh  sertifikasi ini, seorang dokter atau tenaga medis harus terlebih dahulu  mengikuti  pelatihan penggunaan obat tradisional.  Pelatihan ini penting  untuk memastikan jaminan hukum dan standar kesehatan bagi tenaga medis  maupun pasien.
Dr. Prijo mengatakan, "Semua dokter nanti yang akan berpraktek dengan  jamu, itu harus terkontrol. Oleh karena itu, yang bisa melakukan hal  itu dokter yang teregister, jadi dokter yang diakui oleh medical council."
Saat ini, minat tenaga medis dalam meresepkan obat tradisional masih   sangat kecil.  Ini tampak dari sedikitnya jumlah dokter yang mengikuti  pelatihan penggunaan obat  tradisional tersebut, yang saat ini baru  mencapai 92 orang dokter saja.
Itupun kebanyakan pesertanya berasal dari daerah yang selama ini  terkenal kuat budaya penggunaan obat tradisional di masyarakat yaitu  Jawa Tengah dan Bali. Padahal, menurut Dr. Darwis Hartono dari Persatuan  Himpunan Dokter Herbal Medik Indonesia,  dibanding dengan obat-obatan  modern dari zat kimia,  obat-obatan  tradisional memiliki banyak  manfaat.  Walaupun terkadang efeknya tidak langsung,  namun tanaman  herbal terbukti mampu  memberikan pengaruh yang lebih baik.
Darwis Hartono mengatakan,"Kita akui cara kerja obat herba; agak  lambat, tidak seperti obat-obat dokter tetapi efek-efek sampingannya  juga lebih kecil.Saya rasa kita memang butuh kedua jenis pengobatan ini.  Satu datang dari Barat, satu memang sudah ada di nenek moyang kita.  Hanya selama ini kurang berkembang saja."
Sementara itu pemerintah melalui Kementerian Kesehatan meningkatkan  pelatihan obat tradisional bagi para dokter. Ini merupakan bagian dari  rencana besar  pemerintah Indonesia menghadapi agenda kawasan ASEAN  dalam rencana mengintegrasikan obat tradisional dalam dunia medis modern  tahun 2015 mendatang.
Selain memberikan pelatihan, Kementrian Kesehatan  juga telah  melakukan riset dan saintifikasi tanaman obat-obatan asli Indonesia   yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Obat  dan Obat  Tradisional di Tawangmangu, Jawa Timur.
Menurut kepala balai tersebut, Indah Yuning Prapti, Indonesia  berpotensi merajai pasar tanaman obat di ASEAN  mengingat sumber daya  alam tanaman obat yang  melimpah. "Sebetulnya ada 30.000 tanaman yang  bisa dibuat obat, tapi baru 9.000-an yang kita gunakan," ujar Indah.
Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua di dunia sebagai negara  penghasil tanaman obat  setelah Brazil. Tapi, sayangnya  kebanggaan   akan sumber daya alam ini, tidak sepadan dengan upaya perlindungannya.
Banyak dari tanaman obat asli Indonesia yang saat ini dipatenkan pihak asing. Seperti kandungan sylimarin  dalam kunyit yang  dipatenkan di Jerman.  Untuk mencegah aksi pencurian  hak paten atas  tanaman obat asli  Indonesia  ini pemerintah mengaku  sudah menggalang kerjasama lewat mekanisme perjanjian transfer genetika  tanaman obat dengan negara-negara di ASEAN dan Eropa.
 
 









